-
FB : https://www.facebook.com/dalovlu
Twitter : https://twitter.com/LusiiAnastasya
Google : https://plus.google.com/u/0/106814565651441159454/posts
BBM : 21DA8AAC
Twitter : https://twitter.com/LusiiAnastasya
Google : https://plus.google.com/u/0/106814565651441159454/posts
BBM : 21DA8AAC
Makna Ikhlas Dalam Ibadah
Ketahuilah wahai saudaraku kaum muslimin (semoga Allah
memberikan hidayah kepadaku dan kepada kalian untuk berpegang teguh kepada
Al-Kitab dan As-Sunnah), sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan menerima suatu
amalan apapun dari siapa pun kecuali setelah terpenuhinya dua syarat yang
sangat mendasar dan prinsipil, yaitu:
1.
Amalan
tersebut harus dilandasi keikhlasan hanya kepada Allah, sehingga pelaku amalan
tersebut sama sekali tidak mengharapkan dengan amalannya tersebut kecuali wajah
Allah Ta’ala.
2.
Kaifiat(tatacara)
pelaksanaan amalan tersebut harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam-.
Dalil untuk kedua syarat ini
disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam beberapa tempat dalam Al-Qur`an.
Di antaranya:
“Barangsiapa mengharap perjumpaan
dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabbnya”.(QS. Al-Kahfi : 110)
Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah-
berkata dalam Tafsirnya (3/109) menafsirkan ayat di atas,
“[Maka hendaklah ia mengerjakan amal
yang saleh], Yaitu apa-apa yang sesuai dengan syari’at Allah,
[dan janganlah ia mempersekutukan
seorang pun dalam beribadat kepada Rabbnya]
yaitu yang hanya diinginkan wajah
Allah dengannya tanpa ada sekutu bagi-Nya.
Inilah dua rukun untuk amalan yang
diterima, harus ikhlas hanya kepada Allah dan benar di atas syari’at
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam-”.
Dan juga Firman Allah Ta’ala:“Dia
lah yang menjadikan mati dan hidup, agar Dia menguji kalian, siapa di antara
kalian yang paling baik amalannya”. (QS. Al-Mulk : 2)
Al-Fudhoil bin Iyadh -rahimahullah-
sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa karya Ibnu Taimiah -rahimahullah- (18/250)
berkata ketika menafsirkan firman Allah ["siapa di antara kalian yang
paling baik amalannya”]
“(Yaitu) Yang paling ikhlas dan yang
paling benar.
Karena sesungguhnya amalan, jika
ada keikhlasannya akan tetapi belum benar, maka tidak akan diterima. Jika
amalan itu benar akan tetapi tanpa disertai keikhlasan, maka juga tidak
diterima, sampai amalan tersebut ikhlas dan benar.
Yang ikhlas adalah yang hanya
(diperuntukkan) bagi Allah dan yang benar adalah yang berada di atas sunnah
(Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-)”.
Berikut uraian kedua syarat ini:
Syarat Pertama:
Pemurnian Keikhlasan Hanya Kepada
Allah Ini adalah konsekuensi dari syahadat pertama yaitu:
"persaksian bahwa tidak ada
sembahan yang berhak untuk disembah dan diibadahi kecuali hanya Allah -Subhanahu
wa Ta’ala- semata serta meninggalkan dan berlepas diri dari berbagai macam
bentuk kesyirikan dan penyembahan kepada selain Allah Ta’ala."
Ada banyak dalil yang menopang
syarat ini, di antaranya:
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Kami menurunkan
Al-Kitab (Al Qur’an) kepadamu dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah
agama yang bersih (dari syirik)”. (QS. Az-Zumar : 2-3)
Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah, “Sesungguhnya aku
diperintahkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama”. (QS.
Az-Zumar : 11)
Dan dalam firman-Nya:
“Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus”. (QS. Al-Bayyinah : 5)
Adapun dari As-Sunnah, maka Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam-
telah menegaskan dalam sabda beliau:
“Sesungguhnya setiap amalan
hanyalah tergantung dengan niatnya masing-masing, dan setiap orang hanya akan
mendapatkan apa yang dia niatkan. Maka, barangsiapa yang hijrahnya kepada
Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa
yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena perempuan yang
hendak dia nikahi, maka hijrahnya kepada sesuatu yang dia hijrah
kepadanya”. (HR.
Al-Bukhari no. 54, 2392 dan Muslim no. 1907 dari sahabat Umar bin Al-Khaththab
-radhiallahu anhu-)
Kemudian, keikhlasan yang diinginkan
di sini adalah mencakup dua perkara:
1. Lepas dari
syirik ashgar (kecil) berupa riya` (ingin dilihat), sum’ah (ingin didengar),
keinginan mendapatkan balasan duniawi dari amalannya, dan yang semisalnya dari
bentuk-bentuk ketidakikhlasan. Karena semua niat-niat di atas menyebabkan
amalan yang sedang dikerjakan sia-sia, tidak ada artinya dan tidak akan
diterima oleh Allah Ta’ala.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
ala alihi wasallam- bersabda bahwa Allah Ta’ala berfirman dalam hadits Qudsy:
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu
amalan apapun yang dia memperserikatkan Saya bersama selain Saya dalam amalan
tersebut, maka akan saya tinggalkan dia dan siapa yang dia perserikatkan
bersama saya”. (HR. Muslim no. 2985 dari Abu
Hurairah -radhiallahu anhu-)
penjelasan:
Kata “dia” bisa kembali kepada
pelakunya dan bisa kembali kepada amalannya, Wallahu A’lam. Lihat Fathul Majid
hal:447.
Bahkan Allah Ta’ala telah
menegaskan:
“Barangsiapa yang menghendaki
(dengan ibadahnya) kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di
dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di
akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat apa yang telah mereka usahakan
di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Hud : 15-16)
2. Lepas dari
syirik akbar (besar), yaitu menjadikan sebahagian dari atau seluruh ibadah yang
sedang dia amalkan untuk selain Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Perkara
kedua ini jauh lebih berbahaya, karena tidak hanya membuat ibadah yang sedang
diamalkan sia-sia dan tidak diterima oleh Allah, bahkan membuat seluruh pahala
ibadah yang telah diamalkan akan terhapus seluruhnya tanpa terkecuali.
Allah Ta’ala telah mengancam Nabi
Muhammad -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- dan seluruh Nabi sebelum
beliau dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan
kepadamu dan kepada (Nabi-Nabi) yang sebelummu: “Jika kamu berbuat kesyirikan,
niscaya akan terhapuslah seluruh amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang
yang merugi”. (QS.
Az-Zumar : 65)
Dari syarat yang pertama ini,
sebagian ulama ada yang menambahkan satu syarat lain diterimanya amalan, yaitu:
Aqidah pelakunya haruslah aqidah yang benar, dalam artian dia tidak meyakini
sebuah aqidah yang bisa mengkafirkan dirinya.
Contoh: Ada seseorang yang shalat
dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi -shallallahu alaihi wasallam-,
hanya saja dia meyakini bahwa Allah Ta’ala berada dimana-mana.
Keyakinan dia ini adalah keyakinan
yang kafir karena merendahkan Allah, yang karenanya shalatnya tidak akan
diterima.
Contoh lain: Seseorang yang
mengerjakan haji dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi -shallallahu
alaihi wasallam-, hanya saja dia meyakini bahwa ada makhluk yang mengetahui
perkara ghaib. Maka hajinya pun tidak akan diterima karena dia telah meyakini
keyakinan yang rusak lagi merupakan kekafiran, wallahu a’lam bishshawab.
Ust. Abu Muawiah Hammad
(hafizhahullah)
Ikhlas Beribadah Bukan Berarti Tidak Boleh Mengharap Pahala
Sebagian ulama dan ahli ibadah punya
keyakinan bahwa jika seseorang beribadah dan mengharap-harap balasan akhirat
yang Allah janjikan maka ini akan mencacati keikhlasannya. Walaupun mereka
tidak menyatakan batalnya amalan karena maksud semacam ini, namun mereka
membenci jika seseorang punya maksud demikian.
Mereka pun mengatakan, “Jika aku
beribadah pada Allah karena mengharap surga-Nya dan karena takut akan siksa
neraka-Nya, maka aku adalah pekerja yang jelek. Tetapi aku hanya ingin
beribadah karena cinta dan rindu pada-Nya.” Perkataan ini juga dikemukakan
oleh Robi’ah Al ‘Adawiyah, Imam Al Ghozali dan Syaikhul Islam Ismail Al Harowi.1 Di
antara perkataan Robi’ah Al Adawiyah dalam bait syairnya, “Aku sama sekali
tidak mengharap surga dan takut pada neraka (sebagai balasan ibadah). Dan aku
tidak mengharap rasa cintaku ini sebagai pengganti.”
Jadi intinya mereka bermaksud
mengatakan bahwa janganlah seseorang beramal karena ingin mengharap pahala,
mengharap balasan di sisi Allah, ingin mengharap surga atau takut pada siksa
neraka. Ini namanya tidak ikhlas.
Namun jika kita perhatikan kembali
pada Al Qur’an dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sungguh pendapat mereka-mereka jauh dari kebenaran. Berikut beberapa buktinya.
Semoga Allah memberikan kepahaman.
Allah Memerintahkan untuk Berlomba Meraih Kenikmatan di Surga
Allah Memerintahkan untuk Berlomba Meraih Kenikmatan di Surga
Setelah menyebutkan berbagai
kenikmatan di surga dalam surat Al Muthaffifin, Allah Ta’ala pun
memerintah untuk berlomba-lomba meraihnya,
وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ
الْمُتَنَافِسُونَ
“Dan untuk yang demikian itu
hendaknya orang berlomba-lomba. ” (QS. Al Muthaffifin: 26)
Dalam Al Qur’an pun Disebutkan
Balasan dari Suatu Amalan
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا (107) خَالِدِينَ
فِيهَا لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا (108)
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat
tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya.”
(QS. Al Kahfi: 107-108)
Al Qur’an Memberi Kabar Gembira dan
Peringatan
Allah Ta’ala berfirman,
قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا
مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ
أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا
“Al Qur’an sebagai bimbingan yang
lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan
memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal
saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al Kahfi: 2)
Sifat Orang Beriman, Beribadah
dengan Khouf (Takut) dan Roja’ (Harap)
Allah Ta’ala berfirman,
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ
يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ
رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“Orang-orang yang mereka seru
itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka
yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan
azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. ”
(QS. Al Israa’: 57)
Sifat ‘Ibadurrahman Berlindung dari
Siksa Neraka
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا
اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا
“Dan orang-orang yang berkata:
“Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu
adalah kebinasaan yang kekal”. ” (QS. Al Furqon: 65)
Sifat Ulil Albab juga Berlindung
dari Siksa Neraka
Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ
قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ
فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191) رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ
أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (192) رَبَّنَا إِنَّنَا
سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آَمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآَمَنَّا
رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا
مَعَ الْأَبْرَارِ (193) رَبَّنَا وَآَتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا
تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ (194)
“(Yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci
Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya
barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau
hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun. Ya
Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman,
(yaitu): “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami,
ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami
kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak
berbakti. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada
kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami
di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.” ” (QS. Ali
Imron: 191-194)
Malaikat pun Meminta pada Allah
Surga
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika menceritakan keadaan para malaikat, beliau bersabda
bahwa Allah Ta’ala berfirman,
فَمَا يَسْأَلُونِى قَالَ
يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ
“Apa yang para malaikat mohon
pada-Ku?” “Mereka memohon pada-Mu surga,” sabda beliau.
Lihatlah malaikat pun meminta pada Allah surga, padahal mereka adalah seutama-utamanya wali Allah. Sifat-sifat para malaikat adalah,
Lihatlah malaikat pun meminta pada Allah surga, padahal mereka adalah seutama-utamanya wali Allah. Sifat-sifat para malaikat adalah,
لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ
وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Malaikat-malaikat itu tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)
Asiyah, istri Fir’aun yang Beriman
Meminta Rumah di Surga
Allah Ta’ala berfirman,
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ
آَمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا
فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ
الظَّالِمِينَ
“Dan Allah membuat isteri Fir’aun
perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku,
bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah
aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim. ”
(QS. At Tahrim: 11). Padahal Asiyah lebih utama dari Robi’ah Al Adawiyah, namun
ia pun masih meminta pada Allah surga.
Para Nabi Beribadah dengan Roghbah
(Harap) dan Rohaba (Cemas/Takut)
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي
الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang
baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah
orang-orang yang khusyu’ kepada Kami. ” (QS. Al Anbiya’: 90)2
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam pun
Meminta Surga
Sebagaimana do’a Nabi Ibrahim
-kholilullah/ kekasih Allah-,
وَاجْعَلْنِي مِنْ وَرَثَةِ جَنَّةِ
النَّعِيمِ (85) وَاغْفِرْ لِأَبِي إِنَّهُ كَانَ مِنَ الضَّالِّينَ (86) وَلَا
تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ
“Dan jadikanlah aku termasuk
orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan, dan ampunilah bapakku,
karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat, dan
janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan.” (QS. Asy
Syu’ara: 85-87)
Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam pun Meminta Surga
Dari Abu Sholih, dari beberapa
sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada seseorang, “Do’a apa yang
engkau baca di dalam shalat?”
أَتَشَهَّدُ وَأَقُولُ اللَّهُمَّ
إِنِّى أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ أَمَا إِنِّى لاَ
أُحْسِنُ دَنْدَنَتَكَ وَلاَ دَنْدَنَةَ مُعَاذٍ
“Aku membaca tahiyyat, lalu aku
ucapkan ‘Allahumma inni as-alukal jannah wa a’udzu bika minannar‘ (aku
memohon pada-Mu surga dan aku berlindung dari siksa neraka). Aku sendiri tidak
mengetahui kalau engkau mendengungkannya begitu pula Mu’adz”, jawab orang
tersebut. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kami sendiri memohon surga (atau berlindung dari neraka).”3
Nabi Menyuruh Meminta Tempat yang
Mulia untuknya di Surga
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash,
beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ
فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى
عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِىَ
الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِى الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ
مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِىَ
الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
“Apabila kalian mendengar
mu’adzin, maka ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan oleh muadzin, lalu
bershalawatlah kepadaku, maka sungguh siapa saja yang bershalawat kepadaku
sekali, Allah akan bershalawat kepadanya sebanyak 10 kali. Kemudian mintalah
pada Allah wasilah bagiku karena wasilah adalah sebuah kedudukan di surga.
Tidaklah layak mendapatkan kedudukan tersebut kecuali untuk satu orang di
antara hamba Allah. Aku berharap aku adalah dia. Barangsiapa meminta wasilah
untukku, dia berhak mendapatkan syafa’atku.”4
Yang dimaksud dengan wasilah adalah kedudukan tinggi di surga. Sebagaimana terdapat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Yang dimaksud dengan wasilah adalah kedudukan tinggi di surga. Sebagaimana terdapat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الوَسِيْلَةَ دَرَجَةٌ عِنْدَ
اللهِ لَيْسَ فَوْقَهَا دَرَجَةٌ فَسَلُّوْا اللهَ أَنْ يُؤْتِيَنِي الوَسِيْلَةَ
عَلَى خَلْقِهِ
“Sesungguhnya wasilah adalah
kedudukan (derajat yang mulia) di sisi Allah. Tidak ada lagi kedudukan yang
mulia di atasnya. Maka mintalah pada Allah agar memberiku wasilah di antara
hamba-Nya yang lain.”5
Setelah Kita Menyaksikan
Setelah kita melihat sendiri dan
menyaksikan dengan seksama berbagai ayat al Qur’an dan riwayat hadits yang
telah kami kemukakan di atas, ini menunjukkan bahwa seluruh ajaran agama ini
mengajak setiap hamba untuk mencari surga dan berlindung dari neraka-Nya.
Dalil-dalil tersebut juga menunjukkan bahwa para rasul, para nabi, para shidiq,
para syuhada’, para malaikat dan para wali Allah yang mulai, mereka semua
beramal karena ingin meraih surga dan takut akan siksa neraka. Mereka adalah
hamba Allah terbaik, lantas pantaskah mereka disebut pekerja yang jelek?!
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَطَلَبُ الْجَنَّةِ
وَالِاسْتِعَاذَةِ مِنْ النَّارِ طَرِيقُ أَنْبِيَاءِ اللَّهِ وَرُسُلِهِ
وَجَمِيعِ أَوْلِيَائِهِ السَّابِقِينَ الْمُقَرَّبِينَ وَأَصْحَابِ الْيَمِينِ
“Meminta surga dan berlindung dari
siksa neraka adalah jalan hidup para Nabi Allah, utusan Allah, seluruh wali
Allah, ahli surga yang terdepan (as sabiqun al muqorrobun) dan ahli
surga pertengahan (ash-habul yamin).”6
Salah Paham dengan Kenikmatan di
Surga dan Siksa Neraka
Mengenai perkataan sebagian sufi,
لَمْ أَعْبُدْكَ شَوْقًا إلَى
جَنَّتِكَ وَلَا خَوْفًا مِنْ نَارِكَ
“Aku tidaklah beribadah pada-Mu
karena menginginkan nikmat surga-Mu dan takut pada siksa neraka-Mu”,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah memberikan jawaban,
“Perkataan ini muncul karena
sangkaannya bahwa surga sekedar nama tempat yang akan diperoleh berbagai macam
nikmat. Sedangkan neraka adalah nama tempat yang mana makhluk akan mendapat
siksa di dalamnya. Ini termasuk mendeskreditkan dan meremehkan yang dilakukan
oleh mereka-mereka karena salah paham dengan kenikmatan surga. Kenikmatan di
surga adalah segala sesuatu yang dijanjikan kepada wali-wali Allah dan juga
termasuk kenikmatan karena melihat Allah. Yang terakhir ini juga termasuk
kenikmatan di surga. Oleh karenanya, makhluk Allah yang paling mulia selalu
meminta surga pada Allah dan selalu berlindung dari siksa neraka.”7
Melihat wajah Allah di akhirat
kelak, itulah kenikmatan yang paling besar dan istimewa dari kenikmatan
lainnya. Dari Shuhaib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ
الْجَنَّةَ – قَالَ – يَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى تُرِيدُونَ شَيْئًا
أَزِيدُكُمْ فَيَقُولُونَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا
الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّارِ – قَالَ – فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا
أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ
وَجَلَّ ».
“Jika penduduk surga memasuki surga,
Allah Ta’ala pun mengatakan pada mereka, “Apakah kalian ingin sesuatu sebagai
tambahan untuk kalian?” “Bukankah engkau telah membuat wajah kami menjadi
berseri, telah memasukkan kami ke dalam surga dan membebaskan kami dari siksa
neraka?”, tanya penduduk surga tadi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Allah pun membuka hijab (tirai). Maka mereka
tidak pernah diberi nikmat yang begitu mereka suka dibanding dengan nikmat
melihat wajah Rabb mereka ‘azza wa jalla.”8
Siksaan di neraka yang paling berat
adalah karena tidak memperoleh nikmat yang besar ini yaitu melihat Allah Ta’ala.
Orang-orang kafir tidak merasakan melihat wajah Allah yang merupakan nikmat
terbesar yang diperoleh oleh penduduk surga. Inilah kerugian dan siksaan bagi
mereka. Allah Ta’ala berfirman,
كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ
يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya
mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari melihat wajah Tuhan
mereka. ” (QS. Al Muthaffifin: 15). Imam Syafi’i berdalil dengan mafhum (makna
tersirat) ayat ini,
هذه الآية دليل على أن المؤمنين يرونه
عز وجل يومئذ
“Ayat ini adalah dalil bahwa
orang-0rang beriman akan melihat Allah ‘azza wa jalla pada hari itu (hari
kiamat).”9
Inilah pikiran picik yang membatasi
kenikmatan di surga hanya dengan merasakan berbagai nikmat, seperti sungai,
bidadari, buah-buahan, namun ada nikmat yang lebih daripada itu yaitu nikmat
melihat Allah Ta’ala.
Kesimpulan
Yang namanya ikhlas adalah seseorang
beramal dengan mengharap segala apa yang ada di sisi Allah, yaitu mengharap
surga dengan segala kenikmatannya (baik bidadari, berbagai buah, sungai di
surga, rumah di surga, dsb), termasuk pula dalam hal ini adalah ingin melihat
Allah di akhirat kelak. Begitu pula yang namanya ikhlas adalah seseorang
beribadah karena takut akan siksa neraka. Inilah yang namanya ikhlas.
Jika seseorang tidak memiliki harapan untuk meraih surga dan takut akan neraka, maka semangatnya dalam beramalnya pun jadi lemah. Namun jika seseorang dalam beramal selalu ingin mengharapkan surga dan takut akan siksa neraka, maka ia pun akan semakin semangat untuk beramal dan usahanya pun akan ia maksimalkan.
Jika seseorang tidak memiliki harapan untuk meraih surga dan takut akan neraka, maka semangatnya dalam beramalnya pun jadi lemah. Namun jika seseorang dalam beramal selalu ingin mengharapkan surga dan takut akan siksa neraka, maka ia pun akan semakin semangat untuk beramal dan usahanya pun akan ia maksimalkan.
Semoga Allah senantiasa
menganugerahkan kita keikhlasan dalam beramal, harapan yang kuat untuk meraih
surga-Nya dan rasa takut akan siksa neraka-Nya.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Footnote:
1 Ta’thirul Anfas min
Haditsil Ikhlas, Dr. Sayid bin Husain Al ‘Afani, hal. 365-366, Darul ‘Affani,
1421 H. [Pembahasan selanjutnya banyak kami ambil faedah dari kitab ini]
2 Ada dua tafsiran mengenai surat Al
Anbiya’ ayat 90. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Zakariya dan
istrinya. Ada pula sebagian ulama yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah
semua nabi yang disebutkan dalam surat Al Anbiya’. Lihat penjelasan Ibnul Jauzi
dalam Zaadul Masiir ketika menjelaskan surat ini.
3 HR. Abu Daud no. 792, Ibnu Majah
no. 910, dan Ahmad (3/474). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. LihatShahih
wa Dhoif Sunan Abu Daud no. 792.
4 HR. Muslim no. 875
5 HR. Thobroni dalam Mu’jam Al
Awsoth. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Fadhlu Sholah
‘alan Nabi no. 49
6 Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, 10/701, Darul Wafa’,cetakan ketiga, 1426 H
7 Majmu’ Al Fatawa, 10/240-241.
8 HR. Muslim no. 181.
9 Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
Ibnu Katsir, 14/287, Muassasah Qurthubah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar